Kegiatan-kegiatan selama kerja di Seoul (10-bersambung)

Remember three things: blowing, tonguing and fingering.

—–Guru les flute

Ada dua hal yang membuat saya sedikit kecewa di hari Sabtu yang lalu. Yang pertama adalah Emart daerah Konkuk tidak menjual deodoran padahal Emart adalah supermarket besar yang levelnya ada di antara Hero – Carrefour. Deodoran adalah barang yang cukup langka di Korea. Saya jadi teringat sewaktu pertama kali ke Korea, abang saya yang sudah sekitar satu tahun tinggal di Busan menitipkan Rexona untuk saya bawa dari Indonesia.

Memangnya di Korea ga ada yang jual Rexona ya Tom?

Rexona sih tidak ada, tapi Rexena ada. Saya juga tidak tahu ini merek yang sama atau bukan. Yang jelas harganya 4500 won (40 ribu rupiah) satu batang. Deodoran saja harganya semahal itu, apalagi kalau bedak BB Harum Sari yang bisa “bikin cowok-cowok nempel kayak perangko”. Hehe. Iklan jaman SD banget. Jaman main gundu sambil nungguin Ksatria Baja Hitam jam 5 di Indosiar. Iklannya diulang-ulang tiga kali back to back.

syntax jquery ga ingat tapi tagline iklan 15 tahun yang lalu masih ingat. cara kerja otak memang lebih misterius dibandingkan cara kerja magnet.

Hal kedua yang membuat saya kecewa adalah saya terlambat datang ke medical checkup rutin untuk asuransi kesehatan dari kantor. Padahal saya sudah sengaja membatalkan kelas flute saya karena jadwalnya bentrok.

Kelas flute? Kenapa flute, Tom? Lu mau main lagu dangdut?

Hmm. Kalau langsung mengasosiasikan flute dengan lagu dangdut berarti sama seperti saya juga, sering menonton Dunia Dangdut di RCTI hari Minggu jam 8 yang dipandu Nita Thalia, Lia Natalia dan satunya lagi. Musiknya live dan flautist (pemain flute)-nya adalah yang kedua paling sering disorot saat performance. Sebenarnya saya tidak terlalu suka dangdut. Beralasan menonton acara ini karena suka lagu dangdut sama saja dengan mengatakan membaca majalah Playboy karena artikelnya bagus-bagus. Goyangan sensualnya adalah hal yang paling mendekati film porno jaman internet masih belum dimana-mana. Acara lainnya adalah photoshoot model seksi jam 2-3 di Anteve, Indosiar, RCTI. Itu adalah sebagian dari kegiatan jaman liburan SMA. Kalau Komedi Nakal nya Julia Perez itu jaman kuliah.

Sampai dimana tadi? Oh, flute. Alat musik yang pertama kali saya pelajari adalah rekorder sewaktu SMP. Bukan menyombong, tapi saya cukup ahli bermain rekorder. Sampai sekarang saja kalau disuruh main lagu “Ibu Kita Kartini” saya masih hapal.

do re mi fa sol mi do. la do si la sol. fa la sol fa mi do. re fa mi re do. dan seterusnya.

Memasuki SMA, saya mengikuti ekskul marching band bersama Gita Bahana Nusantara Marching Band (GBNMB) kebanggaan SMA Taruna Nusantara. (Cieee..) Saat itu, instrumen pilihan saya adalah Tenor Drum (bayangkan tas selempang dan ganti tasnya dengan drum). Setelah beberapa pertemuan mempelajari instrumen pilihan, diadakan audisi untuk menjadi tim inti marching band. Sayangnya, saat audisi saya gagal masuk tim inti.

Akhirnya, saya dan empat orang sisa gagal audisi lainnya diberikan alat musik tiup yang kurang populer untuk dipelajari sendiri. Tuba, flute, trombone dan tenor horn. Kami ditempatkan di barisan paling belakang. We don’t do anything, really. Tidak ada yang mengajarkan bagaimana cara bermain yang baik dan benar. Dari seluruh repertoire lagu, satu-satunya saat suara kami benar-benar terdengar karena solo hanyalah satu measure. Satu measure yang terdiri atas empat ketuk. Lima not yang kami mainkan di salah satu pembukaan fanfare. Terompet mengawali satu measure dengan suara tinggi dan kami menyusul dengan suara rendah di measure kedua. Itu saja. Di lagu lainnya, kami cuma meniup asal-asal toh tidak terdengar juga. Lima orang sisa gagal audisi yang sekarang sudah menjadi letnan satu angkatan laut, inspektur satu polisi, phd lulusan Singapura, master lulusan Jepang dan master lulusan Korea. Lumayanlah untuk ukuran orang-orang gagal audisi marching band SMA kelas satu.

Saat kuliah S2 di Busan, saya berada di satu lab dengan mahasiswa S2 part time sebagai Reserve Officer berpangkat Letnan Dua. Si mas letnan ini cukup dekat dengan saya karena selalu ingin melatih bahasa Inggrisnya yang sudah mulai menurun sejak satu tahun yang lalu ditempatkan di Filipina. Dia juga sering meminta bantuan saya untuk programming. Satu waktu, saat saya menjelaskan tentang koneksi database dengan .NET di komputer saya, dia melihat playlist youtube saya yang saat itu penuh musik klasik. Langsung saja dia mengajak saya untuk menonton konser musik klasik yang kebetulan hari itu ada di kantor Kodam (Komando Daerah Militer) daerah Busan yang terletak di Gimhae. Padahal waktu itu ada ketegangan antara Korut dan Korsel setelah kapal perang Korsel ditorpedo dan militer sedang dalam kondisi waspada. Saya berpikir sepertinya sedikit ilegal untuk orang asing masuk ke kawasan militer di tengah situasi seperti ini. Dia pun dengan sedikit ragu-ragu meyakinkan saya kalau tidak akan terjadi apa-apa asal saya tidak terlihat mencurigakan. Okelah kalau begitu, kami pun bertolak menuju Gimhae.

Di dalam Kodam, saya disuruh menunggu di dalam mobil setelah si mas letnan berkata “wait here while I clear things up.” Setelah itu, kami berjalan menuju auditorium sementara saya berusaha sebisa mungkin agar tidak terlihat mencurigakan. Di konser ini yang menampilkan pertunjukan adalah Busan Philharmonic Orchestra dan yang paling berkesan adalah flute concerto yang memainkan lagu “Arirang”, folk song-nya Korea. Saat itu adalah pertama kalinya saya mendengar suara flute diiringi orkestra secara langsung. Suara yang benar-benar surgawi.

Beberapa waktu setelah konser di Gimhae, saya tidak sengaja menonton drama Korea berjudul “Beethoven Virus”. Awalnya, seperti setiap drama Korea yang pernah saya tonton, saya menonton karena pemeran utama wanitanya cantik. Ternyata setelah beberapa episode, ceritanya cukup menarik dan musik klasiknya benar-benar menyenangkan untuk didengar. Ada satu lagu yang berjudul “Gabriel’s Oboe”. Lagu ini adalah theme song untuk film “The Mission” yang didasari kisah nyata tentang misionaris yang menyebarkan Injil di daerah Amerika Selatan. Eposide drama ini saya tonton di hari Jumat dan hari Minggunya kebetulan sekali ada orang Korea yang persembahan musik di gereja memainkan lagu yang sama dengan flute. Benar-benar kebetulan yang menyenangkan. Ada keinginan untuk suatu saat saya bisa memainkan lagu itu dengan flute.

Setelah belajar piano selama satu tahun dan punya dasar pengetahuan musik yang cukup, saya pun merasa sudah saatnya untuk belajar flute. Akhirnya saya membuat iklan di situs Craigslist berjudul “need flute lesson”.

Awalnya saya hanya ingin menceritakan tentang belajar proses belajar flute bersama guru les saya yang wanita cantik berusia 32 tahun dan bagaimana quote di atas bisa muncul di saat les. Tapi akhirnya saya malah sedikit nostalgia. Ya sudahlah, karena post ini sudah cukup panjang, maka akan saya lanjutkan di post berikut saja.

Advertisement

Kegiatan-kegiatan selama kerja di Seoul (9-bersambung)

Selama hampir 27 tahun hidup di dunia ini saya menemukan hanya ada satu hal yang lebih pendek dari hasil potongan pangkas rambut Asgar (Asli Garut)/ abang-abang walaupun sudah dari awal diminta untuk “Dirapiin dikit aja ya mas”. Hal itu adalah hotpants cewek Korea di musim panas. Kalau kita umpamakan khatulistiwa adalah garis pembatas antara porno dan paha, maka sependek-pendeknya hotpants cewek Indonesia di daerah Plaza Senayan dan Sency, tidak pernah di atas wilayah Makassar.

Wilayah Makassar memang cukup panas. Kata orang-orang sih begitu. Saya pribadi belum pernah menyentuh wilayah Makassar. Dua-duanya. Wilayah Makassar dengan dan tanpa double quote. Saya kan masih innocent.

(Kemarin-kemarin pas telepon ke rumah, katanya nyokap sering baca juga blog ini. Hmmm. Ga apa-apa lah. Sudah besar ini.)

garis khatulistiwa
Ilustrasi: bagian atas dan bawah bumi dilewati oleh garis Ekuator (khatulistiwa)

Anyway, di belahan dunia yang saya tinggali ini, sewaktu weekdays hotness level nya biasanya ada di sekitar Banjarmasin menjorok ke Samarinda dan sewaktu weekend sebaliknya. By the way, saya pernah ke Banjarmasin, Samarinda dan Balikpapan sewaktu SMP dan tinggal di Palangkaraya. Kotanya bagus-bagus. Hidup Kalimantan!

Anehnya di Kalimantan walaupun dekat khatulistiwa tapi tidak panas. Mungkin karena banyak hutannya. Hutan beneran. Hutan yang tumbuh di tanah gambut… (Saya sama sekali tidak ada maksud untuk mengkait-kaitkan dengan kata yang berima sama dengan gambut. Shame on you readers! Shame on you!)

Walaupun demikian, akhir-akhir ini saya sudah mulai tidak betah kerja di Korea. Kombinasi dari tekanan kerja dan tanggung jawab yang mulai bertambah membuat saya sering mengalami stress.

Memang tekanan kerja di Korea seperti apa sih, Tom?

Pertanyaan yang bagus. Penjelasannya agak panjang dan mungkin susah dipahami oleh orang yang awam proses Software Engineering.

Intinya sih, ketidakcocokan antara proses development yang saya alami di perusahaan ini dan proses optimal yang saya tahu dari pengalaman bekerja di Indonesia dan pendidikan saya sebagai Master of Engineering (cieee~) . Akibat proses Quality Assurance tidak maksimal, modul yang dikerjakan penuh bug dan akhirnya selalu pulang malam dan sering dikejar-kejar deadline karena waktu terbuang untuk memperbaiki masalah yang tidak seharusnya ada jika prosesnya baik. Saya pernah coba mendiskusikan tentang ini ke kepala developer dan saran saya ditampik dengan jawaban yang ratusan kali saya dengar.

Harusnya sih “This is Korea”, tapi karena saya nulisnya di kantor jadi ga bisa edit-edit dan terpaksa ambil gambar stok lama. Mungkin ini juga sebabnya proyek sering molor. Karena saya di kantor ga kerja. Hm…

Sempat terpikir juga untuk pindah ke perusahaan lain saja, tetapi proses administrasi yang rumit membuat saya berpikir dua kali. Visa saya adalah E-7 dan visa ini terkait dengan perusahaan sebagai sponsor. Jika saya ingin mengundurkan diri, maka saya harus punya surat pernyataan pengunduran diri dari perusahaan sekarang untuk mengurus kepindahan tempat kerja di imigrasi. Sepertinya surat ini susah didapat jika saya membatalkan kontrak sepihak sehingga saya mencari alternatif lain yaitu “visa run”. Intinya pergi sebentar ke luar Korea dan menyerahkan kartu penduduk sebagai tanda ingin mengakhiri status kependudukan di Korea dan membatalkan visa sekarang.

Tapi setelah dipikir-pikir, lebih baik saya pulang saja ke Indonesia dan membangun karir yang lebih pasti. Akhirnya saya berhenti les bahasa Korea dan mulai mengirim lowongan ke perusahaan-perusahaan di Jakarta. Surat pengunduran diri sudah dibuat dan tinggal dikirim. Yang menghambat saya hanya satu, yaitu perasaan empati kepada CEO yang merekrut saya karena sudah mulai ekspansi ke Indonesia. Jika saya mengundurkan diri, pastinya rencananya akan terdampak. Lagipula, kalau saya memutus kontrak, bonus akhir kontrak akan hangus. Lumayan sih, dua bulan gaji karena kontrak dua tahun. Bisa buat modal kawin walaupun yang mau dikawinin masih pacaran dengan pria lain. (Cue lagu Whitney Houston “And I…aai will always love you..uuu”)

Untungnya, baru-baru ini saya di-transfer ke proyek lain. Proyek yang baru dimulai sehingga jadwalnya masih longgar dan bisa pulang teng-go. Saya pun jadi berpikir lagi untuk mengundurkan diri. Ya sudahlah 9 bulan lagi saja kontrak habis. Setelah itu pulang ke Indonesia. Atau tetap bertahan. Kata kepala programmer sih kontrak berikutnya saya akan naik pangkat jadi 대리. Kebetulan akhir-akhir ini ada beberapa karyawati yang baru masuk dan perlu dibina dan diarahkan. Siapa tahu ada episode lembur bareng dan terjadi hal-hal yang berbau film komedi romantis.

Sebetulnya, sebelum di-transfer ke proyek lain, ada satu hal lain yang menyebabkan saya berpikir untuk tetap tinggal di Korea. Akhirnya, setelah dua bulan, iklan saya yang berjudul “need flute lesson” di Craigslist dibalas. Hal-hal yang berkaitan dengan belajar flute ini akan saya bahas di post berikutnya.

Kenapa nggak sekarang aja, Tom?

Karena saya harus…

images